Showing posts with label Pendidikan. Show all posts
Showing posts with label Pendidikan. Show all posts

Sunday, November 1, 2015

Hakikat Prestasai Belajar

  1. Hakikat  Prestasi Belajar
Setiap individu cenderung untuk bebas berpikir, mengembangkan daya imajinasi dan adanya dorongan untuk berbuat lebih dari yang lainya, maka prestasi sangat erat hubungan dengan kebutuhan yang timbul dari diri individu dalam melaksanaan segala usaha. Seseorang pada prinsipnya ingin mencapai prestasi tertentu untuk kepuasan dalam hidupnya. Jadi seorang ingin berprestasi karena merupakan faktor psikologis yang terdapat pada diri setiap orang, dengan kata lain prestasi merupakan segala hasil usaha yang dapat dicapai oleh seseorang. Prestasi setiap peserta didik  itu berbeda. Untuk meraih prestasi diperlukan usaha yang sungguh-sungguh. Semua aktivitas di sekolah ditunjukan untuk membantu keberhasilan kegiatan belajar peserta didik, karena pentingnya belajar maka aspek  penelitianpun biasanya berpedoman pada berhasil tidaknya belajar peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran khusus yang telah dirumuskan. Prestasi adalah hasil yang telah diperoleh setelah melakukan pendidikan atau latihan tertentu yang hasilnya bisa di tentukan dengan pemberian tes pada akhir pendidikan (Chosiyah 2001:2). Nana Sudjana (2000:19) berpendapat bahwa prestasi adalah bukti keberhasilan belajar dan tingkat kondisi perubahan tingkah laku peserta didik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan telah dicanangkan karena pada hakekatnya hasil belajar tersirat dalam tujuan pengajaran. Menurut Surayin(2001:455) mengemukakan bahwa prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya).

Prestasi belajar yang dicapai seseorang merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor, yang mempengaruhi baik dari dalam diri (faktor ekstern) individu. Pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar penting sekali ,artinya dalam rangka membantu peserta didik dalam mencapai prestasi belajar sebaik baiknya.

Tuesday, October 27, 2015

Media Gambar Seri



  Media Gambar Seri
a.    Pengertian Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harifah berarti perantara atau pengantar. “Modea” adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima (Arief S.Sadiman, dkk. 2006: 6). (Association of Education and Comunication Technology/AECT) memberi batasan tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi.
Menurut National Education Assocation (NEA) mengartikan media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi. Menurut Koyo (dalam sukiman 2012:28) menyatakan bahwa media adalah segala benda yang dapat dimanipulasikan, dilihat, dilihat dan didengardibaca atau dibicarakan beserta instrument yang dipergunakan untuk kegiatan tersebut.
Banyak batasan yang diberikaan orang tentang media. Asisiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (Association of Education and Comunication Technology/AECT). Menurut Gagne (1970) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Sedangkan menurut Briggs (1970) berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar. Buku, film, kaset, dan contoh-contohnya.
Bahasa media berarti pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Secara lebih khusus, pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal Azhar Arsyad (dalam sukiman 2012: 28).

Menurut berbagai pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa media adalah suatu alat bantu pembelajaran yang digunakan  dalam menyampaikan suatu informasi kepada orang lain baik visual maupun audio visual yang bertujuan untuk mempermudah kegiatan pembelajaran agar segala informasi yang disampaikan oleh pengirim tersampaikan oleh penerima informasi. 
b.      Aspek-aspek Media Pembelajran
Aspek-aspek Penggunaan Media Pembelajaran antara lain: 1) media pengajaran sangat tergantung kepada tujuan pengajaran, 2) bahan pengajaran, 3) kemudahan memperoleh media, 4) serta kemampuan guru dalam menggunakannya.
c.        Media Gambar Seri
Tarigan (1997 : 210) mengemukakan bahwa “Mengarang melalui media gambar seri berarti melatih dan mempertajam daya imajinasi siswa”. Dalam kriteria pemilihan media disinggung bahwa media digunakan harus sesuai dengan taraf berfikir anak didik. Dalam  pembelajaran menulis karangan di SD.
Dapat disimpulkan bahwa media gambar seri memiliki  keuntungan dimana siswa lebih kreatif untuk mnuliskan sebuah tulisan yang sesuai dengan gambar yang berurutan dan siswa lebih mudah untuk mendeskripsikan tulisannya sesuai dengan gambar yang dilihatnya.
d.      Kelebihan dan Kelemahan Media Gambar Seri
(wordpress.com/.../ kelebihan-dan – keterbatasan – media -gambar) kelebihan media gambar seri antara lain:
1)   Media gambar seri adalah media pembelajaran yanga sangat menyengkan karena siswa lebih aktif dalam mengikuti pelajaran.
2)   Materi yang diserap melalui media gambar lebih mudah diserap oleh siswa.
3)   Siswa lebih mudah untuk menangkap isi dan maksud dalam gambar seri tersebut.
Kelemahan Media Gambar Seri antara lain:
1)      Tidak semua siswa faham akan isi, maupun maksud dari gambar secara tersusun.
2)      Untuk kelas rendah siswa perlu mendapatkan bimbingan secara  khusus untuk menyampaikan maksud dan isi dari gambar seri.
3)      Perlu pemikiran serius untuk membandingkan keterhubungan antara gambar satu dengan gambara yang lain.

 (http://library.um.ac.id/ptk/index.php?mod=detail&id=37139) adapun solusi dalam penerapan media gambar seri adalah dengan memberikan sebuah gambar kepada anak secara nyata dalam artian gambar yang ditanyangkan dapat dipahami oleh anak, selain itu urutan gambar seri berkesinambungan sehingga anak tidak kebingungan terhadap alur karangan yang ditulisnya, guru dalam kegiatan pembelajaran memberikan arahan petunjuk-petunjuk sederhana sehingga gagasan deskripsi siswa dapat dipahami oleh guru.

Keterampilan Berbicara dan Berbahasa


a.       Keterampilan Berbicara
Keterampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat atau pikiran dan perasaan kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik secara berhadapan ataupun dengan jarak jauh. Keterampilan berbicara merupakan keterampilan dengan menggunakan bahasa lisan. Menurut Wilkin (dalam Oktarina, 2002) menyatakan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan menyusun kalimat – kalimat karena komunikasi terjadi melalui kalimat – kalimat untuk menampilkan perbedaan tingkah laku yang bervariasi dari masyarakat yang berbeda (http://tarmizi.wordpress.com/2009/03/08 diakses tanggal 25 November 2012 pukul 13.40 WIB).
Selanjutnya menurut Dr. Tri Budhi Sastrio, M. Si dalam tulisannya yang berkepala: Keterampilan Dasar Berbahasa Antara Harapan dan Realita menyatakan sebagai berikut (http://tarmizi.wordpress.com/2009/03/08 diakses tanggal 25 November 2012 pukul 13.40 WIB).
“Kemampuan dan keterampilan berbicara mungkin merupakan keterampilan dasar berbahasa yang paling tidak mudah dimanipulasi jika konsep ‘unjuk kerja’ yang dijadikan tolok ukur. Seseorang tidak mungkin memoles kemampuan berbicaranya, khususnya bahasa asing, dalam semalam saja seandainya besok ia harus mengikuti tes berbicara. Kemampuan berbicara seseorang diperoleh dalam jangka waktu lama dan dengan usaha yang tidak kenal lelah”.

Ketampilan yang digunakan untuk alat komunikasi dengan orang lain. Keterampilan berbicara menurut Yeti Mulyati (2008: 3.3-3.21) terbagi kedalam beberapa kegiatan seperti :
1)      Berdialog
Berdialog dapat diartikan sebagai pertukaran pikiran atau pendapat mengenai suatu topik tertentu antara 2 orang atau lebih. Fungsi utama berdialog adalah bertukar pikiran, mencapai mufakat atau merundingkan sesuatu masalah. Dialog dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti bertelepon, bercakap – cakap, tanya –jawab, wawancara, diskusi, musyarawarah, debat, dan simposium.
Dialog ini dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Hal – hal yang perlu diperhatikan ketika berdialog adalah (1) bagaimana menarik perhatian, (2) bagaimana cara mulai dan memprakarsai suatu percakapan, (3) bagaimana menyela, mengoreksi, memperbaiki, dan mencari kejelasan, (4) bagaimana mengakhiri suatu percakapan.

Bahasa yang digunakan dalam dialog ini relatif pendek – pendek. Namun demikian, pembicaraan dapat mudah dipahami apabila disertai mimik yang mendukung. Ekspresi wajah, gerakan, anggukan kepala, dan sejenisnya termasuk paralinguistik yang amat penting dalam dialog.

2)      Menyampaikan Pengumuman
Menyampaikan pengumuman adalah menyampaikan sesuatu hal yang perlu diketahui oleh khalayak ramai. Ciri – ciri yang harus diperhatikan dalam menyampaikan pengumuman diantaranya, yaiitu volume suara harus lebih keras, intonasi tepat, dan gaya penampilan yang menarik.
3)      Menyampaikan Argumentasi
Salah satu proses komunikasi untuk menyampaikan argumentasi karena harus mempertahankan pendapat, yaitu debat. Setiap pihak yang berdebat akan mengajukan argumentasi dengan memberikan alasan tertentu agar pihak lawan atau peserta menjadi yakin dan berpihak serta setuju terhadap pendapat – pendapatnya (Laksaono, 2003:20).
4)      Bercerita
Bercerita merupakan salah satu keterampilan berbicara. Melalui bercerita dapat menjalin hubungan yang akrab. Manfaat lain dari bercerita, yaitu (1) memberikan hiburan, (2) mengajarkan kebenaran, dan (3) memberikan keteladanan.
Seorang pendongeng yang baik dan hebat adalah pendongeng yang mampu menghidupkan cerita. Dengan kata lain si pendongeng mampu menciptakan imajinasi dipikiran siswa atau orang yang mendengarkan. Untuk itu, seorang pendongeng mempersiapkan diri dengan cara (1) memahami pendengar (audiens), (2) menguasai materi cerita, (3) menguasai olah suara, (4) menguasai berbagai macam karakter, (5) luwes dalam berolah tubuh, (6) menjaga daya tahan tubuh.
Disisi lain ada juga jurus dalam mendongeng, yaitu (1) menciptakan suasana akrab, (2) menghidupkan cerita dengan cara memiliki kemampuan teknik membuka cerita, menciptakan suasana dramatik, menutup yang membuat penasaran, (3) kreatif, (4) tanggap dengan situasi dan kondisi, (5) konsentrasi total, dan (6) ikhlas.

Selain itu, Nadeak (1987)(dalam Yeti Mulyati, 2007:3.7) mengemukakan 18 hal yang berkaitan dengan bercerita, yaitu (1) memilih cerita yang tepat, (2) mengetahui cerita, (3) merasakan cerita, (4) menguasai kerangka cerita, (5) menyelaraskan cerita, (6) pemilihan pokok cerita yang tepat, (7) menyelaraskan dan menyarikan cerita, (8) menyelaraskan dan memperluas, (9) menyederhanakan cerita, (10) menceritakan cerita secara langsung, (11) bercerita dengan tubuh yang alamiah, (12) menentukan tujuan, (13) mengenali tujuan dan klimaks, (14) mengfungsikan kata dan percakapan dalam cerita, (15) melukiskan kejadian, (16) menetapkan sudut pandang, (17) menciptakan suasana dan gerak, (18) merangkai adegan.

Keterampilan berbicara, merupakan keterampilan yang berhubungan dengan komunikasi secara lisan (Gage dan Berliner,1984:59). Untuk keterampilan berbicara, siswa harus mampu menunjukkan kemahirannya memilih dan menguraikan kata atau kalimat sehingga informasi, ide, atau yang dikomunikasikan dapat diterima secara mudah oleh pendengarnya (dalam Dimyati, 2009:208).



b.      Keterampilan Berbahasa
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri; percakapan (perkataan) yang baik; tingkah laku yang baik; sopan santun (dalam KBBI edisi kedua, 1991:77). Bahasa merupakan salah satu kemampuan terpenting manusia yang memungkinkan ia unggul atas makhluk – makhluk lain di muka bumi (Mulyono Abdurrahman, 2003:182). Masih dalam buku yang sama, bahasa merupakan suatu komunikasi yang terintegrasi, mencakup bahasa ujaran, membaca, dan menulis (Lerner, 1988:311). Bahsa ujaran yaitu suatu ekspresi bahasa dalam bentuk wicara. Wicara merupakan suatu bentuk penyampaian bahasa dengan menggunakan organ wicara.
Penggunaan bahasa, terdapat empat keterampilan dasar berbahasa, yaitu mendengarkan (menyimak), berbicara, membaca, dan menulis. Jenis keterampilan berbahasa ada dua, yaitu lisan dan tulisan. Keterampilan berbahasa lisan meliputi mendengarkan dan berbicara. Sedangkan, keterampilan berbahsa tulisan meliputi membaca dan menulis.
Mendengarkan adalah keterampilan memahami bahasa lisan yang bersifat reseptif (menerima). Dengan demikian, mendengarkan disini berarti bukan sekadar mendengarkan bunyi – bunyi bahasa melainkan sekaligus memahaminya. Ada dua jenis situasi dalam mendengarkan, yaitu mendengarkan secara interaktif dan situasi mendengarkan secara noninteraktif. Mendengarkan secara interaktif terjadi dalam percakapan tatap muka dan percakapan dalam telepon atau yang sejenis dengan itu. Dengan kata lain mendengarkan secara interaktif itu adanya kontak langsung dan mampu tanya jawab untuk mendapatkan kejelasan yang lebih valid. Mendengarkan secara noninteraktif yaitu sebaliknya dari pengertian mendengarkan secara interaktif. Dengan kata lain mendengarkan secara noninteraktif itu tidak adanya timbal balik tidak adanya kontak langsung untuk meminta konfirmasi. Contoh mendengarkan secara interaktif yaitu mendengarkan radio, melihat televisi, menonton film, dll.
Berbicara merupakan keterampilan bahasa lisan yang bersifat produktif (menghasilkan). Secara garis besar ada tiga jenis situasi berbicara, yaitu interaktif, semiinteraktif, dan noninteraktif. Situasi berbicara interakrif, misalnya percakapan tatap muka dan berbicara lewat telepon yang memungkinkan adanya pergantian antara berbicara dan mendengarkan. Dan juga memungkinkan kita untuk meminta klarifikasi, pengulangan atau kita dapat meminta lawan bicara memperlambat tempo bicara dari lawan bicara. Situasi berbicara semiinteraktif, misalnya dalm berpidato dihadapan umum secara langsung. Dalam situasi ini, peserta tidak dapat melakukan interupsi terhadap pembicaraan, namun pembicara dapat melihat reaksi pendengar dari ekspresi wajah dan bahasa tubuh mereka. Sedangkan situasi terakhir yaitu situasi berbicara noninteraktif, misalnya berpidato melalui radio atau televisi.
Membaca adalah keterampilan reseptif bahasa lisan. Keterampilan membaca dapat dikembangkan secara tersendiri, terpisah dari keterampilan mendengarkan dan berbicara. Tetapi, pada masyarakat yang memiliki tradisi literasi yang telah berkembang, sering kali keterampilan membaca dikembangkan secara terintegrasi dengan keterampilan menyimak dan berbicara.
Menulis adalah keterampilan produktif yang menggunakan tulisan. Menulis ini dapat dikatakan suatu keterampilan yang sangat rumit diantara jenis – jenis keterampilan berbahasa lainnya. Ini karena menulis bukan sekedar menyalin kata – kata dan kalimat – kalimat, melainkan juga mengembangkan dan menuangkan pikiran – pikiran ide dalam suatu struktur tulisan yang teratur.

Thursday, October 22, 2015

Model Pembelajaran Problem Posing



Model Pembelajaran Problem posing
a.       Pengertian Model Pembelajaran Problem posing
Di dalam proses belajar mengajar, guru harus memiliki strategi agar tujuan yang diingikan dapat dicapai secara efektif dan efisien. Maka penguasaan materi saja tidaklah mencukupi. Salah satu langkah untuk menguasai berbagai teknik penyampaian materi dan juga dapat menggunakan metode yang tepat dalam proses belajar mengajar sesuai materi yang digunakan oleh guru adalah untuk menyampaikan informasi kepada siswa agar mereka dapat memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Seorang guru yang menggunakan suatu model pembelajaran diharapkan dapat memberikan kesenangan dan kepuasan pada anak didik  yang merupakan salah satu faktor dalam memotivasi siswa agar mampu menggunakan pengetahuannya untuk memecahkan suatu masalah ayng dihadapi. Kemudian, untuk mengetahui tentang pengertian metode problem posing adalah sebagai berikut.
Terdiri dari dua kata yaitu “problem” yang artinya masalah dan “posing” berasal dari kata “pose” artinya mengajukan atau membentuk Problem posing merupakan pembelajaran dimana siswa diminta untuk mengajukan masalah (soal) berdasarkan situasi tertentu. As’ari (2000:5), mengartikan Problem posing dengan pembentukan soal atau merumuskan soal atau menyusun soal.
Lebih lanjut Suryanto (1998:8), menyatakan bahwa Problem posing mempunyai beberapa arti, yaitu pertama perumusan soal dengan bahasa yang baku/standar atau perumusan kembali soal yang ada dengan beberapa perubahan agar sederhana dan dapat dikuasai, kedua, perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan atau alternatif soal yang masih relevan, dan ketiga, perumusan soal dari suatu situasi yang tersedia baik yang dilakukan sebelum, ketika, atau setelah mengerjakan soal.
Sedangkan Silver (M. Thobroni: 343) mencatat bahwa istilah menanyakan soal biasanya diaplikasikan pada tiga bentuk aktifitas kognitif yang berbeda, yaitu sebagai berikut:
1)      Menanyakan per solusi: seorang siswa membuat soal dari situasi yang diadakan.
2)      Menanyakan di dalam solusi: seorang siswa merumuskan ulang soal seperti yang telah diselesaikan.
3)      Menanyakan setelah solusi: seorang siswa memodifikasi tujuan dan kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal-soal baru.

Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa Problem posing merupakan model pembelajaran dimana siswa ditugaskan untuk menyusun masalah atau soal sesuai dengan pemahaman masing-masing siswa.
b.      Problem posing dan Relevansinya dalam Pembelajaran
Pengajuan masalah berkaitan dengan kemampuan guru memotivasi siswwa melalui perumusan situasi yang menantang sehingga siswa dapat mengajukan pertanyaan yang dapat diselesaikan dan berakibat kepada peningkatan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah. Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, guru hendaknya memilih strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar baik secara mental, fisik, maupun social. Sebagaimana pendapat M. Thobroni (2011: 343) definisi mengajar di Negara-negara yang sudah maju. Teaching is the guidance of lerning (mengajar adalah bimbingan kepada siswa dalam proses belajar).
Definisi tersebut menunjukan bahwa yang aktif adalah  siswa, yang mengalami proses belajar. Sedangkan, guru hanya membimbing, menunjukkan jalan dengan memperhitungkan kepribadian siswa. Kesempatan untuk berbuat dan aktif berpikir lebih banyak diberikan kepada siswa.
Hal tersebut sangat berkaitan dengan metode pengajuan soal. Pengajuan soal merupakan kegiatan yang mengarah pada sikap kritis dan kreatif. Sebab, dalam metode pengajuan soal, siswa diminta untuk membuat pertanyaan dari informasi yang diberikan. Padahal, bertanya merupakan pangkal semua kreasi. Orang yang memiliki kemampuan mencipta (berkreasi) dikatakan lebih kreatif. Selain itu, dengan pengajuan soal, siswa diberi kesempatan aktif secara mental, fisik, dan sosial serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelidiki dan juga membuat jawaban.
Pengajuan soal dapat meningkatkan kemampuan belajar siswa karena pengajuan soal merupakan sarana merangsang kemampuan tersebut. Dengan membuat soal, siswa perlu membaca informasi yang diberikan dan mengkomunikasikan pertanyaan secara verbal maupun tertulis. Menulis pertanyaan dari informasi yang ada dapat menyebabkan ingatan siswa lebih baik. Kemudian dalam pengajuan soal siswa diberikan kesempatan menyelidiki dan menganalisisinformasi untuk dijadikan soal. Kediatan menyelidiki tersebut bagi siswa menentukan apa yang dipelajari, kemampuan menerapkan penerapan dan perilaku selama kegiatan belajar. Hal tersebut menunjukkan kegiatan pengajuan soal dapat memantapkan kemampuan belajar siswa.
Menurut M. Thobroni (2011:344-345) komunikasi siswa yang terjadi di kelas dibagi dalam dua model, yaitu model respetif dan model ekspresif.
1)      Model Reseptif
Model reseptif adalah model komunikasi siswa yang menggunakan lembar kerja dan latihan-latihan yang disediakan guru.
2)      Model Ekspresif
Model ekspresif adalah model komunikasi siswa menggunakna diskusi, menulis kreatif, dan melakuakan kegiatan-kegiatan. Pengajuan soal atau membuat sendiri pertanyaan merupakan salah satu cara komunikasi siswa dengan model ekspresif. Model ekspresif lebih mendesak untuk diterapkan di dalam kelas sebab dengan model tersebut siswa akan merasa tertarik dan merasa memiliki kegiatan belajar tersebut. Dengan demikian , pembelajaran perlu diupayakan menerapkan model ini, di samping tidak meninggalkan model reseptif.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat dikatakan bahwa pengajuan masalah (problem posing) merupakan reaksi siswa terhadap situasi yang telah disediakan oleh guru. Reaksi tersebut berupa respons dalam bentuk pertanyaan.
c.       Tujuan dan manfaat problem posing
Menurut pendapat beberapa ahli, yang dikutip oleh Tatag (M. Thobroni, 2011: 349) mengatakan bahwa, metode pengajuan soal (problem posing) dapat:
1)      Membantu siswa dalam mengembangkan keyakinan dan kesukaan terhadap pelajaran sebab ide-ide siswa dicobakan untuk memahami masalah yang sedang dikerjakan dan dapat meningkatkan kemampuannya dalam pemecahan masalah.
2)      Membentuk siswa bersikap kritis dan kreatif.
3)      Mempromosikan semangat inquiri dan membentuk pikiran yang berkembang dan fleksibel.
4)      Mendorong siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajarnya.
5)      Mempertinggi kemampuan pemecahan masalah sebab pengajuan soal memberi penguatan-penguatan dan memperkaya konsep-konsep dasar.
6)      Menghilangkan kesan keseraman dan kekunoan dalam belajar.
7)      Memudahkan siswa dalam mengingat materi pelajaran.
8)      Memudahkan siswa dalam memahami materi pelajaran.
9)      Membantu memusatkan perhatian pada pelajaran.
10)  Mendorong siswa lebih banyak membaca materi pelajaran.
Kegiatan merumuskan masalah juga memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk merekonstruksi pikiran-pikiran dalam rangka memahami materi pembelajaran. Kegiatan tersebut menentukan pembelajaran yang dilakukan siswa lebih bermakna.
d.      Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran problem posing
1)      Kelebihan
a)      Mendidik murid berpikir kritis.
b)      Siswa aktif dalam pembelajaran.
c)      Belajar menganalisis suatu masalah.
d)     Belajar menganalisis suatu masalah.
e)      Mendidik anak percaya pada diri sendiri.
2)      Kelemahan
a)      Memerlukan waktu yang cukup banyak.
b)      Tidak bisa digunakan di kelas-kelas rendah.
c)      Tidak semua murid terampil bertanya (M. Thobroni, 2011: 349-350).
Adapun solusi untuk mengatasi kendala pada penerapan model pembelajaran problem posing dengan melatih kemampuan siswa dalam mengerjakan soal-soal sejenis uraian agar penerapan model pembelajaran problem posing dapat optimal. Kemampuan tersebut akan tampak dengan jelas bila siswa mampu mengajukan soal-soal secara mandiri maupun berkelompok. Kemampuan siswa untuk mengerjakan soal tersebut dapat dideteksi lewat kemampuannya untuk menjelaskan penyelesaian soal yang diajukannya di depan kelas.
e.       Ciri-ciri pembelajaran problem posing
Pembelajaran problem posing (pengajaran yang mengemukakan masalah-masalah) yang dipikirkan Freire (M. Thobroni, 2011: 350) memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1)      Guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru.
2)      Guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan menstimulasi daya pemikiran kritis murid-muridnya serta saling memanusiakan.
3)      Manusia dapat mengembangkan kemampuannya untuk mengerti secara kritis dirinya dan dunia tempat ia berada.
4)      Pembelajaran problem posing senantiasa membuka rahasia realita yang menantang manusia dan kemudian menuntut suatu tanggapam terhadap tantangan tersebut. Tanggapan terhadap tantangan membuka manusia untuk berdedikasi seutuhnya.
Dalam hal ini guru harus menganggap siswa sebagai individu yang mempunyai unsur-unsur dinamis yang dapat berkembang bila disediakan kondisi yang menunjang. Jadi status guru tidak mutlak menentukan apa dan bagaimana siswa harus belajar, tetapi ada suasana demokratis.
f.       Penerapan pembelajaran problem posing
Pada prinsipnya, model pembelajaran problem posing adalah suatu model pembelajaran yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal (berlatih soal) secara mandiri.
Dengan demikian, menurut Suyino (Herdian, 2009: http://herdy07.wordpress.com/2009/04/19/model-pembelajaran-problem-posing/) penerapan model pembelajaran problem posing adalah sebagai berikut.
1)      Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Penggunaan alat peraga untuk memperjelas konsep sangat disarankan.
2)      Guru memberikan latihan soal secukupnya.
3)      Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 buah soal yang menantang, dan siswa yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. Tugas ini dapat pula dilakukan secara kelompok.
4)      Pada pertemuan berikutnya, secara acak, guru menyuruh siswa untuk menyajikan soal temuannya di depan kelas. Dalam hal ini, guru dapat menentukan siswa secara selektif berdasarkan bobot soal yang diajukan oleh siswa.
5)      Guru memberikan tugas rumah secara individual.
Silver dan Cai (M. Thobroni, 2011: 352) mnjelaskan bahwa pengajuan soal mandiri dapat diaplikasikan dalam 3 bentuk aktivitas kognitif matematika yakni sebagai berikut.
1)      Pre solution posing
Pre solution posing yaitu jika seorang siswa membuat soal dari situasi yang diadakan. Jadi guru diharapkan mampu membuat pertanyaan yang berkaitan dengan pernyataan yang dibuat sebelumnya.

2)      Within solution posing
Within solution posing yaitu jika seorang siswa mampu merumuskan ulang pertanyaan soal tersebut menjadi sub-sub pertanyaan baru yang urutan penyelesaiannya seperti yang telah diselesaikan sebelumnya.jadi, diharapkan siswa mampu membuat sub-sub pertanyaaan baru dari sebuah pertanyaan yang ada pada soal yang bersangkutan.
3)      Post solution posing
Post solution posing yaitu jika seorang siswa memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal yang baru yang sejenis pelajaran.

Dalam model pembelajaran pengajuan soal (problem posing) siswa dilatih untuk memperkuat dan memperkaya konsep-konsep dasar matematika.
Dengan demikian, kekuatan-kekuatan model pembelajaran problem posing sebagai berikut.
1)      Memberi penguatan terhadap konsep yang diterima atau memperkaya konsep-konsep dasar.
2)       Diharapkan mampu melatih siswa meningkatkan kemampuan dalam belajar.
3)      Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah (M. Thobroni, 2011: 352).
Bagi siswa, pembelajaran problem posing merupakan keterampilan mental, siswa menghadapi suatu kondisi dimana diberikan suatu permasalahan dan siswa memecahkan masalah tersebut.